Rabu, 03 Agustus 2011

Pendekatan Teologis Anti Korupsi



Seperti apa Indonesia saat ini merupakan cetakan dari pelaku kehidupan tempo dulu. Ini tidak akan terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal bisa dilihat dari seperti apa pola asuh, pola pendidikan juga lingkungan keluarga yang mencetak seorang pribadi. Sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan tempat tinggal termasuk kondisi sosial yang terjadi pada para pengisi roda kehidupan di Negara ini.
Jika berbicara moral tentulah banyak permasalahan pelik yang tersandung. Moral atau dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan sebagai ajaran mengenai sikap atau tindakan yang dinilai baik maupun buruk. Katakanlah korupsi, yang beberapa tahun ini melambung gaungnya. Muhammad Nazarudin sebagai tokoh yang senantiasa dikejar pun tak jua tertangkap yang sebelumnya ada Jayus sang mafia pajak. Beberapa menyandang komplikasi hukum yang belum jua mendapat penyelesaian yang tuntas. Lantas pada siapakah semua ini disalahkan? KPK, Presiden, pejabat pemerintah, penindak hukum, pelaku, orang tua, pendidikan, lingkungan atau pelaku sendiri?
Persoalan korupsi di Negara ini adalah bukti tidak mapannya dunia pendidikan. Artinya, orang yang bergelar professor, doctor dan gelar tinggi pendidikan pun tidak lepas dari jeratan korupsi. Pendidikan belum mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pencegahan korupsi yang dilakukan alumni pendidikan sendiri. Ternyata institusi pendidikan melahirkan koruptor kelas kakap. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak uang rakyat yang diselewengkan.
Pendidikan agama anti korupsi adalah wahana latihan pengembangan pendidikan berbasis agama yang mampu mmenjawab realitas sosial. Artinya korupsi sekarang ini sudah saatnya dijawab dengan pendekatan teologis. Pendekatan yang dimaksud disini adalah perbuatan yang melanggar norma-norma agama yang sebagaimana tertulis di dalam teks suci.
Ambil contoh dalam agama islam, korupsi adalah perbuatan tercela dan merugikan orang banyak. Kalau menggunakan pendekatan hukum pidana islam, seorang pencuri harus dipotong tangannya. Ini berdasarkan ayat suci yang menyatakan bahwa, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya sebagai  pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (Q.S. Al Maidah : 38)
Perilaku korupsi yang tidak hanya menyusahkan orang banyak, membuat pelakunya berhasil menumpuk harta kekayaan dan mendewakan bahkan menjadikan “Tuhan” baru. Artinya mencari kekayaan dengan mengorupsi uang rakyat sama dengan perilaku “muja”. (Sindhunata, kompas, 7/12). Perilaku ini adalah mencari kekayaan dengan cara tidak halal dan ceberung menghasilkan segala cara seperti membodohi sebagian orang, membunuh keluarga atau orang lain demi mendapatkan kekayaan.
Dari kondisi seperti itu, dapat diambil sebuah ijtihad hukum bahwa seorang koruptor wajib dihukum pancung. Hal ini didasarkan kepada pencuri yang dipotong tangannya karena telah merugikan banyak orang dan menyekutukan Tuhan.
Pendidikan agama antikorupsi adalah sebuah cara mencegah semakin kejamnya korupsi di Indonesia. Korupsi di negeri ini sudah sangat meresahkan masyarakat, dan ironisnya malah semakin banyak orang berpendidikan yang tidak mempunyai nurani melakukan korupsi. Ia tidak lagi malu mengembangkan ilmu yang ia sandang, dan ia malah bangga dengan gelar yang disandang pada saat melakukan korupsi. Hal ini tentunya didasarkan kepada tidak adanya aparat yang mencekalnya. Dan apabila dicekal, dia masih mempunyai pasokan dana yang dapat digunakan untuk menyulap pihak aparat. Bukan hanya itu, mereka pun masih bisa wisata, melompat dari satu Negara ke Negara lain.
Pendidikan agama yang selama ini hanya mengajarkan keimanan dan ketakwaan yang kurang menyentuh realitas nyata sudah saatnya diubah menjadi bahasa yang sangat bersentuhan dengan realitas sosial. Misalnya bagaimana sikap beragama kita dalam menghadapi realita kehidupan.
Dengan demikian, pembacaan terhadap teks suci tidak lagi dimaknai sebagai hal yang melangit, akan tetapi lebih diarahkan untuk menjawab persoalan yang membumi. Kalau dahulu teks-teks suci hanya dihafal dan menjadi penghibur disaat sedih, sekarang teks suci menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari. Pendek kata, teks diposisikan sebagai ilmu yang mampu menjawab persoalan mutakhir. Teks tidak hanya dijadikan sebgai hal untuk melegitimasi setiap kegiatan yang keliru.
Pentingnya pemahaman ilmu dalam menjawab persoalan sosial pernah disinggung Kuntowijiyo (2004). Keprihatinan Kuntowijoyo ini didasarkan kepada banyaknya masyarakat keliru memahami teks. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, Islam hanya dijadikan alat legitimasi dan legalitas semata.
Urgensi pendidikan agama anti korupsi adalah menggugah kesadaran atau alam bawah sadar kita bahwa perilaku korupsi adalah perbuatan bejat yang banyak merugikan orang lain dan melanggar aturan yang telah diwahyukan. Pendidikan agama antikorupsi adalah upaya memahami teks wahyu sebagai ilmu yang dapat menjawab persoalan yang muncul, seperti korupsi. Hal ini dapat diajarkan dalam setiap kelas sejak dari pendidikan dini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar