Selasa, 26 Juli 2011

Benarkah Atlantis itu Indonesia ?



 Istilah mitos memang tidak begitu asing di telinga kita. Sebenarnya apa sih yang dimaksud “mitos” itu? Dari kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa mitos adalah cerita tentang dewa-dewa, asal-usul semesta alam atau suatu bangsa yang berhubungan dengan bermacam kekuatan gaib. Lantas mitos seperti apa yang akan kita bahas dalam tulisan ini?
Pernah dengar kata “Atlantis” ? Bagi yang suka membaca pasti tahu buku yang berjudul “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” karya Profesor Arysio Nunes dos Santos yang diterbitkan beberapa tahun silam.
Pandangan yang paling mutakhir mengenai Atlantis dan sangat mengejutkan kita datang dari seorang geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil Prof Arysio Santos. Dia membantah tesis di atas dan meyakini bahwa Atlantis yang pernah digambarkan Plato sebagai sebuah negara makmur dengan kekayaan emas, batuan mulia, dan mother of all civilization dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalogi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga itu adalah Indonesia.
Tambah tertarik ketika membaca artikel yang ditulis oleh Profesor Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D. tentang mitos Benua Atlantis yang ternyata adalah Indonesia. Tulisannya mengutip sebuah buku terbitan tahun 2005 ini.
Penelusuran melalui dunia maya menemukan satu promosi penerbitan buku tersebut dengan gambar sampul buku yang sangat menarik dan provokatif. Sampul buku itu menampilkan Kepulauan Indonesia bagian barat, yang tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang pernah dikenal sebagai Kepulauan Sunda Besar yang terdiri dari Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan yang dipersatukan oleh paparan luas yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Jadi Paparan Sunda, atau ketika laut surut pada Kala Pleistosen Akhir menjadi daratan luas disebut dalam dunia ilmiah Geologi internasional sebagai Sundaland. Mungkinkah itu Benua Atlantis yang hilang menurut Profesor Santos? Sungguh membanggakan! Wajar jika kesimpulan Profesor Priyatna diakhir tulisannya bahwa Indonesia yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, harus membuat kita bersyukur, tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia.
Namun banyak ganjalan yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor Santos yang melambungkan nama Indonesia, atau tepatnya Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang itu. Ganjalan-ganjalan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya membawa kepada beberapa situs internet tentang Atlantis. Lalu, fikiran saya terdampar pada sumber awal munculnya mitos Atlantis itu, yaitu dialog Timaeus dan Critias, yang ditulis oleh Plato.
Cerita mengenai keberadaan Benua Atlantis hingga kini terus menjadi misteri sejak dideskripsikan filsuf Yunani, Plato, pada ribuan tahun lalu dalam dua dialognya, "Timaeus" dan "Critias". Tak hanya Plato, penulis kuno klasik lainnya seperti Homer, Hesiod, Pindar, Orpheus, Appolonius, Theopompos, Ovid, Pliny si tua, Diodorus Siculus, Strabo, dan Aelian juga ikut meramaikan soal keberadaan Atlantis.
Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan perdebatan tak kunjung usai di kalangan saintis klasik dan modern. Bahkan, masing-masing meletakkan Atlantis di tempat yang mereka yakini sesuai dengan hasil temuannya seperti Al-Andalus, Kreta, Santorini, Siprus, Timur Tengah, Malta, Sardinia, Troya, Antartika, Australia, Kepulauan Azores, Tepi Karibia, Bolivia, Laut Hitam, Inggris, Irlandia, Kepulauan Canary, Tanjung Verde, Isla de la Juventud dekat Kuba, dan Meksiko.
Kesimpulan Santos yang merujuk pada pandangan Plato bukan tanpa pertimbangan kuat. Selama 30 tahun ia melakukan studi dan penelitian. Selama itu pula hidupnya dipergunakan untuk mengungkap letak Atlantis yang sebenarnya. Hasil penelitiannya itu kemudian ia tulis dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization. Untuk memperkuat argumentasinya, Santos juga merujuk pada tradisi-tradisi suci tentang mitos banjir besar yang melanda seluruh dunia.
Dalam buku ini, secara tegas Santos menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia. Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis. Mereka memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi. Itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan atas keserakahan dan keangkuhannya.
Dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan mutakhir seperti geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan comparative mythology, Santos juga mengungkap sebab-sebab hilangnya Atlantis dari muka bumi. Dia pun membantah hipotesis yang menyatakan bahwa musnahnya Atlantis disebabkan tabrakan meteor raksasa yang disebabkan oleh komet dan asteroid. Menurut Santos, tabrakan di luar angkasa itu adalah order of magnitude yang lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan letusan gunung berapi.
Hipotesis lain yang dibantah Santos adalah tesis yang mengatakan Atlantis musnah disebabkan pergeseran kutub dan memanasnya Antartika pada zaman es. Menurut Santos, fenomena seperti itu mustahil terjadi pada masa lalu jika dilihat dari sisi fisik dan geologisnya.
Musnahnya Atlantis, menurut Santos, lebih disebabkan banjir mahadahsyat yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan dunia, yang membinasakan 70 persen penduduk dunia -termasuk di dalamnya binatang. Yang memegang peran penting dalam bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau dan Gunung Toba, selain puluhan gunung berapi lainnya yang terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan.
Bencana alam beruntun itu, kata Santos, dimulai dengan ledakan dahsyat Gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar, yaitu Selat Sunda, hingga memisahkan Pulau Sumatera dan Jawa. Letusan tersebut menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran rendah antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, antara Jawa dan Kalimantan, serta antara Sumatera dan Kalimantan. Bencana besar itu disebut Santos sebagai "Heinrich Events".
Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa fly-ash naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (zaman es pleistosen). Abu itu kemudian turun dan menutupi lapisan es. Karena adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di Kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia.
Banjir akibat tsunami dan lelehan es itulah yang mengakibatkan air laut naik sekitar 130 hingga 150 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi. Tekanan air yang besar itu menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis.
Terlepas dari benar atau tidaknya teori tersebut, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Santos sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang luar ke Indonesia. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali "tidak meyakinkan" untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya, ini adalah suatu proses dari hukum alam tentang masa keemasan dan kemunduran suatu bangsa. Wallahu’alam bi sowwab|

Tidak ada komentar:

Posting Komentar