Sabtu, 06 Agustus 2011

Otak Mahasiswa



Siapa yang  tahu makanan khas dari berbagai belahan bumi  Indonesia ?. Yup !!. Lumpia dari semarang, Gudeg dari Yogyakarta, Dodol dan Peuyeum dari Bandung, Coto dari Makasar, Dodol Tape dari Bumiayu, Tempe Kemul dari Wonosobo, Dawet Ayu dari Banjarnegara, Ondol dari Purbalingga, Gethuk dari Sokaraja, apa lagi ya ?. Ah, kamu lebih tau. Itu sih menu lama, bagaimana dengan sekarang ?. Banyak lho menu baru kreasi para pengusaha kuliner untuk menggaet pelanggannya. Dari istilah yang kurang beken sampe yang terkeren. Pernah dengar Jamur Kriuk, Lumpia Bom, Ayam kremes, Bakso Pekih, Bakso Candi?. Wah, Rugi deh kalau belum pernah nyicip. Nggak wajib sih...tapi kudu...!!! (Hehe...sama aja dong.).  
            Berbicara makanan,  jadi ingat koki beken asal Surabaya. Rudi Choirudin (46). Ikhwan ganteng yang karib dengan dapur. Memasak itu memang  nggak cuma keahlian akhwat ya, ikhwan pun bisa. Ada nggak ya ikhwan yang seperti dia ? Sekarang kan banyak tuh, akhwat yang kerja. Paling nggak urusan dapur sudah ada yang hendel (Hehe...). Pernah nonton acara masak-memasak di Indosiar? Tahu Ibu Siska Suwitomo kan? Koki yang nggak kalah hebatnya dengan Rudi. Meramu bumbu lokal sedemikian rupa dan menyulapnya menjadi hidangan lezat yang mak nyusss... Kalau ada yang tanya, siapa generasi yang akan mewarisi ilmu mereka? Minimal punya hobi yang sama seperti mereka. Eh, bukan sekedar hobi dink, tapi mampu menambah income keluarga atau untuk biaya registrasi misalnya. Wah... ada nggak ya sosok demikian di kampus kita? Ada dong, pengen tau siapa dia? Simak yuh !
            Hiruk-pikuk kegiatan perkuliahan sudah dimulai. Saatnya bangun dari tidur panjang liburan. Aktifitas akan berjalan normal, dari tugas dosen yang beragam, kegiatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang mulai aktif kembali, juga aktivitas lain di luar kampus. Waktu seakan bangkit dan mengejar, hari pun terasa pendek. Tinggalkan kemalasan, prioritaskan waktu seoptimal mungkin, jaga kesehatan. Itu yang dilakukan oleh Ismey Nur Anggaraeni. Mahasiswa STAIN Jurusan Tarbiyah, Prodi PAI. Semester tujuh.
            Disela-sela kuliah juga pengajuan proposal untuk siapkan skripsi, masih sempat tengokin dapur dan segala tetek bengeknya. Memang ya... kalau sudah hobi, nggak ada alasan untuk meninggalkannya. Begitu dengan Ismey, lain lagi dengan Mukhlas, mahasiswa KI (Kependidikan Islam apa Kedokteran Islam?) Dia supplier, distributor, pedagang, dari berbagai jenis makanan ringan seperti lontong, bakwan, mendoan, goreng pisang, goreng tahu (brontak, bahasa mbanyumase),  gado-gado, air mineral, teh manis, juga kopi. Tiap hari sabtu sore dan minggu siang, dia akan terlihat bersama rekannya, Siti Nur Kholifah (5PBA) berjualan di kampus. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang mengikuti jam kuliah malam, pasti nggak asing lagi dengan mereka.    
Jika ditanya, mau nggak berjualan seperti mereka? Pasti ada yang jawab, “Gengsi lah yaw”, atau ”nggak banget”. Beda dengan mereka, “Dengan berjualan seperti ini, kita jadi tahu kalau mengumpulkan keping-keping rupiah itu nggak mudah.” Wow, tulusnya. Bagi pemula mungkin malu, menawarkan, menunggui, yang sebelumnya harus memasak, meracik juga belanja di pasar, belum lagi harus bangun lebih awal. Pokoknya serentetan proses yang mesti dilalui. Bergelut di dapur sedari bangku kuliah ?! Why not !!!. Koki Rudy aja mulai dari bangku sekolah dasar.    
Hidup itu pilihan. Ketika dikejar kebutuhan, Mahasiswa kreatif (kreatif apa kere lan aktif ) akan menyulap segala sesuatu menjadi uang. Bisa dibilang berjualan karena MOP alias Master of Kepepet pun dijalani. Tuhan juga berfirman yang intinya, tidak akan merubah keadaan seseorang sebelum mereka berusaha untuk beranjak meninggalkan keadaan sebelumnya untuk menjadi lebih baik. Jadi nggak ada harapan terwujud secara instan. Semua butuh proses, dari yang tersukar sampai termudah sekalipun.
Pernah kepikiran nggak sih, menghasilkan uang sendiri minimal untuk kebutuhan domestic pribadi, seperti beli make-up, parfume, lotion de el el. Yeah, meski setiap proposal yang kita ajukan pada orang tua pasti di ACC. Muncul rasa kasihan juga kalau sampai keterusan. Tanggung jawab di pundak mereka juga nggak cuma kita saja. Uang memang bukan segalanya tapi tanpa uang, apa daya kita.
Perlu diingat kalau jatuh bangun adalah fitrah dari perjuangan. Ketika terasa lelah, tak berdaya dan usaha seakan sia-sia, Tuhan tahu betapa keras kita berusaha. Ketika menangis, Tuhan sudah menghitung air mata kita, peluh pun menjadi saksi. Amanah adalah konsekuensi dari tekad. Kita adalah bagian dari dakwah. Ada yang tegar dan ada yang terlempar. Hanya ada satu kata, “kita tidak akan berhenti berjuang!!!” Lantunan indah penuh makna, kobarkan semangat di dada.

Paper Usang



Sedikit sangsi untuk menulis ketika melihat tema yang disuguhkan, “Mahasiswa dan Integritas Kepemimpinan Nasional”. Mencerna makna “Integritas[1]” dalam kamus ilmiah menjadikan suatu langkah tersendiri. Dari sini penulis sadar akan apatisnya[2] diri ini terhadap istilah-istilah popular. Bahkan istilah dalam dunia perpolitikan sendiri. Seperti kata “skandal”[3] yang muncul belum lama ini. Kemudian disusul dengan istilah “Testimoni”[4], “Intervensi”[5] dan istilah baru lain yang memaksa memory otak untuk menyimpan kosakata-kosakata itu. Terkadang ini menjadi skeptis[6] jika dihadapkan pada realita kehidupan yang keras dan harus dijalani.
Terlepas dari itu semua satu yang menjadikan keresahan ketika dihadapkan pada kenyataan hidup di masyarakat, bahwa “Mahasiswa adalah manusia sempurna yang bisa segalanya”. Meski label kehormatan yang disandangkan ini tidak mampu terpenuhi seutuhnya oleh kaum intelektual muda bergelar Mahasiswa. Hingga memunculkan anggapan bahwa mahasiswa dengan gagasan-gagasan birilian pun bisa dihitung dengan jari, apa lagi dengan mereka yang diebut aktifis. Hanya segelintir orang saja. Dari sini, pertanyaan pun muncul, apa orang-orang yang turun ke jalan, yang masih peduli untuk menyuarakan jeritan masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin negeri ini juga sedikit ? Apa hanya mereka saja yang berkoar-koar di luar sana bersama segerombol manusia dengan menunjukan papan bertuliskan tuntutan-tuntutan yang ingin dipenuhi pemerintah? Apa hanya itu yang mampu melunakan hati pemerintah hingga menjadikan mereka turun tangan selesaikan permasalahan ?
Terlalu kompleks permasalahan yang dihadapi Bangsa ini. Kasus korupsi yang tak berujung, Pembantaian masal masa lalu, Penghilangan tokoh pada orde baru, Kasus Trisakti, HAM, TKI (Tenaga Kerja Indonesia), bahkan sampai tuntutan kenaikan gaji Presiden pun menjadi sorotan. Seakan semua yang menjadi pusat perhatian hanya masalah-masalah itu dan cenderung bombastis[7]. Penyelesaian pun tak terdeteksi sampai mana, bahkan kasus-kasus baru saling susul-menyusul menutupi kasus lama yang makin tenggelam dari sorotan masyarakat.
 ALNI ( Alangkah Lucunya Negeri Ini) representasi pemberdayaan anak-anak pengamen muncul dengan lakon yang unik gambaran realita kehidupan kota. Film pendek yang menyoroti kehidupan karyawan pabrik sampai eksploitasi bumi pertiwi ini pun ditampilkan.
Satu yang belum terjamah oleh mata kita, durasi mini waduk Wadas Lintang di Wonosobo, Gambar tenggelamnya kaum tani. Hamparan sawah ladang, samudra hijau kehidupan. Pepohonan sang penjaga mata air, air yang mengalir dalam jiwa, alam penjaga keseimbangan. Dalam kehidupan apapun mereka nikmati secukupnya. Menanam, merawat dan menjaga kehidupan. Bulir-bulir padi harapan beranak pinak menjadi lumbung pangan mereka. Hingga pada tahun 1983 datang jaminan yang mereka pun tak paham. Mereka diusir. Nasib mereka ditentukan harga jualnya, Rp 125-Rp 675 per-meter tanah. Kemudian Wadas lintang menjadi bendungan, pembangunan namanya. Air bah membanjir, tanah rumah dan nisan sanak saudara tak lagi nampak, terkubur nan jauh di dasar air bendungan. Anak cucu mereka merantau ke kota, menjadi buruh, pedagang asongan, transmigrasi, bahkan memilih tetap tinggal di bukit terjal nan cadas pun harus siap dengan segala resiko. Di tengah limpahan air yang mereka minum sisanya hasil berebut dengan pinus-pinus perhutani dan terpaksa bekerja sebagai buruh perhutani. Merawat tanah dan tanaman yang tak pernah mereka miliki. Pembangkit listrik hanya untuk industri, tak menyisakan terang bagi mereka. Soal sekolah, SD pun menjadi keberuntungan, ke SMP susah transportasinya, hidup petani yang seakan dipermainkan. Siapa yang mesti mengurus rakyat seperti mereka ? Apa yang harus mereka lakukan? Siapa yang dapat ikut perjuangkan nasib mereka?
Mahasiswa sebagai tumpuan perubahan penentu arah kemana negri ini akan bermuara menjadi harapan besar ibu pertiwi. Kampus, kawah candra dimuka merupakan wahana berproses yang akan membuka mata hati kita. Menatap bagian kecil kelompok manusia dengan segal problema hingga masalah besar yang dihadapi negeri ini. Orientasi bukan sekedar mengais rejeki atau sebagai karyawan setelah usai belajar, melainkan pengabdian kepada masyarakat, bangsa, Negara dan agama. RidhaNya senantiasa turut menyertai langkah  kaki susuri aral yang melintang.
…Fastabiqul khairat…


[1] Integritas : kesempurnaan, kesatuan, keperpaduan, ketulusan hati, kejujuran, tak tersuap.
[2] Apatis : cuek
[3] Skandal : Perkara yang memalukan, perbuatan tercela
[4] Testimony : keterangan, kesaksian
[5] Intervensi : campur tangan
[6] Skeptis : ragu-ragu, sangsi
[7] Bombastis : omong kosong, bualan semata

Rabu, 03 Agustus 2011

Pendekatan Teologis Anti Korupsi



Seperti apa Indonesia saat ini merupakan cetakan dari pelaku kehidupan tempo dulu. Ini tidak akan terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal bisa dilihat dari seperti apa pola asuh, pola pendidikan juga lingkungan keluarga yang mencetak seorang pribadi. Sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan tempat tinggal termasuk kondisi sosial yang terjadi pada para pengisi roda kehidupan di Negara ini.
Jika berbicara moral tentulah banyak permasalahan pelik yang tersandung. Moral atau dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan sebagai ajaran mengenai sikap atau tindakan yang dinilai baik maupun buruk. Katakanlah korupsi, yang beberapa tahun ini melambung gaungnya. Muhammad Nazarudin sebagai tokoh yang senantiasa dikejar pun tak jua tertangkap yang sebelumnya ada Jayus sang mafia pajak. Beberapa menyandang komplikasi hukum yang belum jua mendapat penyelesaian yang tuntas. Lantas pada siapakah semua ini disalahkan? KPK, Presiden, pejabat pemerintah, penindak hukum, pelaku, orang tua, pendidikan, lingkungan atau pelaku sendiri?
Persoalan korupsi di Negara ini adalah bukti tidak mapannya dunia pendidikan. Artinya, orang yang bergelar professor, doctor dan gelar tinggi pendidikan pun tidak lepas dari jeratan korupsi. Pendidikan belum mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pencegahan korupsi yang dilakukan alumni pendidikan sendiri. Ternyata institusi pendidikan melahirkan koruptor kelas kakap. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak uang rakyat yang diselewengkan.
Pendidikan agama anti korupsi adalah wahana latihan pengembangan pendidikan berbasis agama yang mampu mmenjawab realitas sosial. Artinya korupsi sekarang ini sudah saatnya dijawab dengan pendekatan teologis. Pendekatan yang dimaksud disini adalah perbuatan yang melanggar norma-norma agama yang sebagaimana tertulis di dalam teks suci.
Ambil contoh dalam agama islam, korupsi adalah perbuatan tercela dan merugikan orang banyak. Kalau menggunakan pendekatan hukum pidana islam, seorang pencuri harus dipotong tangannya. Ini berdasarkan ayat suci yang menyatakan bahwa, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya sebagai  pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (Q.S. Al Maidah : 38)
Perilaku korupsi yang tidak hanya menyusahkan orang banyak, membuat pelakunya berhasil menumpuk harta kekayaan dan mendewakan bahkan menjadikan “Tuhan” baru. Artinya mencari kekayaan dengan mengorupsi uang rakyat sama dengan perilaku “muja”. (Sindhunata, kompas, 7/12). Perilaku ini adalah mencari kekayaan dengan cara tidak halal dan ceberung menghasilkan segala cara seperti membodohi sebagian orang, membunuh keluarga atau orang lain demi mendapatkan kekayaan.
Dari kondisi seperti itu, dapat diambil sebuah ijtihad hukum bahwa seorang koruptor wajib dihukum pancung. Hal ini didasarkan kepada pencuri yang dipotong tangannya karena telah merugikan banyak orang dan menyekutukan Tuhan.
Pendidikan agama antikorupsi adalah sebuah cara mencegah semakin kejamnya korupsi di Indonesia. Korupsi di negeri ini sudah sangat meresahkan masyarakat, dan ironisnya malah semakin banyak orang berpendidikan yang tidak mempunyai nurani melakukan korupsi. Ia tidak lagi malu mengembangkan ilmu yang ia sandang, dan ia malah bangga dengan gelar yang disandang pada saat melakukan korupsi. Hal ini tentunya didasarkan kepada tidak adanya aparat yang mencekalnya. Dan apabila dicekal, dia masih mempunyai pasokan dana yang dapat digunakan untuk menyulap pihak aparat. Bukan hanya itu, mereka pun masih bisa wisata, melompat dari satu Negara ke Negara lain.
Pendidikan agama yang selama ini hanya mengajarkan keimanan dan ketakwaan yang kurang menyentuh realitas nyata sudah saatnya diubah menjadi bahasa yang sangat bersentuhan dengan realitas sosial. Misalnya bagaimana sikap beragama kita dalam menghadapi realita kehidupan.
Dengan demikian, pembacaan terhadap teks suci tidak lagi dimaknai sebagai hal yang melangit, akan tetapi lebih diarahkan untuk menjawab persoalan yang membumi. Kalau dahulu teks-teks suci hanya dihafal dan menjadi penghibur disaat sedih, sekarang teks suci menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari. Pendek kata, teks diposisikan sebagai ilmu yang mampu menjawab persoalan mutakhir. Teks tidak hanya dijadikan sebgai hal untuk melegitimasi setiap kegiatan yang keliru.
Pentingnya pemahaman ilmu dalam menjawab persoalan sosial pernah disinggung Kuntowijiyo (2004). Keprihatinan Kuntowijoyo ini didasarkan kepada banyaknya masyarakat keliru memahami teks. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, Islam hanya dijadikan alat legitimasi dan legalitas semata.
Urgensi pendidikan agama anti korupsi adalah menggugah kesadaran atau alam bawah sadar kita bahwa perilaku korupsi adalah perbuatan bejat yang banyak merugikan orang lain dan melanggar aturan yang telah diwahyukan. Pendidikan agama antikorupsi adalah upaya memahami teks wahyu sebagai ilmu yang dapat menjawab persoalan yang muncul, seperti korupsi. Hal ini dapat diajarkan dalam setiap kelas sejak dari pendidikan dini.