Jumat, 15 Juni 2012

Manis Plural kudu dikecap


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang  perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Manusia memiliki komunitas masing-masing. Komunitas ini yang kemudian disebut sebagai keluarga, kemudian tergabung dalam keluarga besar atau kumpulan dari orang-orang (keluarga) yang seketurunan yang kemudian disebut suku. Suku-suku membentuk golongan bangsa dari suatu bangsa. Ini telah disebutkan beribu tahun yang lalu pada ayat Al-Qur’an diatas.
Setiap bangsa memiliki kebudayaan masing-masing. Budaya ini yang pada ahirnya menjadikan ciri khas, kekayaan juga perbedaan. Perbedaan ini yang kemudian memunculkan istilah “Pluralisme”. Dimana pluralisme merupakan aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari[1]. Ini juga berlaku dalam memeluk suatu agama. Lantas bagaimana dalam pluralisme dalam beragama?
Pluralisme agama menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam Munasnya yang ke 7 pada 25-29 Juli 2005 di Jakarta mendefinisikan bahwa, pluralisme agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di dalam sorga.
Ma’ruf Amin, ketua Komisi Fatwa MUI menyatakan Dalam aqidah dan ibadah umat Islam wajib bersikap ekslusif dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Namun demikian, bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama dengan pemeluk lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial degan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Jadi pluralisme itu harus diterima dengan positif.
Demikian juga disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 256 yang mengandung makna bahwa nilai sejati setiap agama adalah paradigma pembebasan individu dan masyarakat serta tanggungjawab sosial yang berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dimana dalam agama islam sendiri secara jelas menyatakan bahwa, tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama.
Bangsa-bangsa di dunia dan miniatur bangsa seperti Indonesia yang memiliki banyak suku, pastinya memiliki beraneka macam agama. Namun keanekaragaman ini tidak bisa dijadikan alasan untuk saling mencela dan menumpahkan darah. Sebaliknya, kondisi sosial budaya dengan pola kemajemukan selalu memerlukan adanya titik temu dalam menilai kesamaan dari semua kelompok yang ada demi mewujudkan cita-cita kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, jika kita melihat fungsi strategis kerjasama antar agama bisa disebutkan seperti:
1.      Dengan adanya kerjasama antar agama, ini membuktikan ketakwaan kepada Tuhan. Dimana di hadapan Tuhan, seseorang dinilai baik apabila ia baik kepada semua makhluk. Nabi Muhammad SAW pun bersabda, Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Ini juga wujud solidaritas kemanusiaan dimana semua umat manusia adalah anggota keluarga, berwal dari dua pasang manusia pertama yang bernamakan Adam dan Hawa.
2.      Dalam hadits Nabi juga disebutkan kalau manusia lahir dalam keadaan suci, jadi tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dan manusia yang lain, meski pada ahirnya manusia dipengaruhi oleh lingkungan.
3.      Dalam kehidupan masyarakat, manusia laksana organ tubuh yang satu. Semua akan terundung lara bila salah satu organ nestapa. Atau dalam analogi lain, manusia bak bangunan yag saling mengokohkan satu sama lain.

Organ pergerakan mahasiswa yang terdiri dari beraneka organisasi di seluruh wilayah Indonesia, atau Banyumas sebagai miniatur Indonesia, hendaknya memahami betul akan pluralitas agama. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kebebasan memeluk agama adalah hak asasi dan menghormati pemeluk agama lain adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Ini juga demi menjaga persatuan organ dan penyatuan tujuan yang tidak mungkin diperjuangkan sendiri-sendiri.
Kiranya tak perlu panjang lebar saya tulis fakta dan fenomena yang terjadi saat ini. Organisasi masyarakat pun mulai terlihat adanya ketidak harmonisan. Katakanlah Nahdiyin dan Muhammadiyah, juga firqoh-firqoh baru yang di daerah tertentu masih kental dengan perselisihan pendapat. Saya kira perlu adanya pelurusan dan siapa lagi kalau bukan kaum terpelajar (mahasiswa) sebagai agent of change.
Okay, siapa pun bisa menjadi sang revolusioner. Revolusi yang berawal dari pribadi, membawa komunitas kemudian berdampak pada lingkungan. Apa lagi IMMawan dan IMMawati yang telah mendarah daging tri kompetensinya. IMMawan dan IMMawati yang intelektualis, agamis dan sosialis, wajib menjadi pelopornya. Saya kira tantangan diluar tidak begitu mudah, semua kader IMM kudu menambah keterampilan juga mengembangkan potensi agar tidak terseok dan survive arungi bahtera bersama masyarakat.
Fastabiqul khairat !!!



            **Penulis adalah kader komisariat Tarbiyah Koorkom Ahmad Dahlan IMM STAIN Purwokerto yang kini menjabat sebagai editor bulletin KISMIS. Mahasiswi ini Jurusan Tarbiyah, prodi Bahasa Arab semester 6. Belajar menulis sembari kuliah dan ikuti agenda IMM menjadi aktifitas pilihan disamping berderma tebarkan senyum dan beramal.


[1] Ahmad Najib Burhani. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membatu. Jakarta: Buku Kompas. 2001. H. 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar