Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi, atau lebih popular dengan sebutan Al-Kindi merupakan salah satu filusuf islam di dunia Islam Timur. Al-Kindi lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M). Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam peperangan kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Ishaq Ibnu al-Sabbah, ayahnya yang menjabat sebagai gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya wafat ketika al-Kindi masih kanak-kanak, namun ia masih memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu di Bashrah dan Baghdad dimana ia dapat bergaul dengan ahli pikir terkenal. Al Kindi hidup pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, suatu masa kejayaan Dinasti Abasiyah dan berkembangnya intelektual, khususnya faham Mu’tazilah.
Melalui lembaga Bait Al Hikmah masa khalifah Al Ma’mun, Al Kindi terkenal jasanya dalam gerakan penerjemahan dan seorang pelopor yang memperkenalkan tulisn-tulisan Yunani, Suriah dan India kepada dunia Islam. Adapun salah satu pemikiran filsafatnya yaitu Metafisika Adapun arti menurut kata, Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan problem yang sangat mendasar daripada benda atau realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung secara kompherensif (luas).
Mengenai Tuhan menurut Al-Kindi[1], Tuhan ialah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Dia tidak dilahirkan dan tidak juga melahirkan.
Pemikiran Al-Kindi mengenai Tuhan ini sesuai dengan Q.S Al Ikhlas yang menyebutkan bahwa Allah itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan tempat meminta. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia. Bgaimanapun juga, Al Qur’an adalah kitab suci yang benar-benar dari Tuhan yang diturunkan melalui malaikatnya kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat. Adapun dengan Nabi Muhammad SAW sendiri merupakan sosok manusia yang dipercaya orang yang jujur, sampai masyarakat yang hidup pada masanya memeberi Muhammad gelar Al Amin. Jadi tidak perlu lagi ada keraguan mengenai isi dari ajaran Al Qur’an.
Mengenai kosmologi[2], Al-Kindi berpendapat bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari tiada (creation ex nihilo). Allah tidak hanya menjadikan alam, tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya, serta menjadikan sebagiannya menjadi sebab bagi yang lain. Lebih lanjut Al-Kindi berpendapat bahwa, alam ini terdiri dari dua bagian, yakni alam yang terletak dibawaah falak bulan dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak bulan hingga ujung alam. Jenis alam yang pertama terjadi dari empat unsur yaitu: api, udara dan tanah. Keempat unsur itu berkualitas dingin, panas, kering dan basah yang merupakan perlambang dari perubahan, pertumbhan dan kemusnahan. Sedangkan pada jenis alam kedua tidak dijumpai keempat unsur yang dimaksud, karena itu tidak mengalami perubahan dan kemusnahan, dengan kata lain alam kedua tersebut abadi sifatnya.
Jika kita melihat sejarah terciptanya manusia yang disebutkan dalam Al Qur’an, dimana Allah menciptakan manusia pertama bernama Adam yang kemudian disusul manusia kedua yaitu Hawa. Melihat perdebatan antara Tuhan dan syetan yang pada waktu itu setan membangkang untuk sujud kepada Adam, karena merasa lebih mulia kedudukannya. Syetan diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah, menjadikan awal permusuhan antara manusia dengan setan. Melalui pemberitahuan bahwa Allah akan menciptakan manusia untuk mengelola bumi, malaikat mengingatkan bahwa manusia hanya akan merusak bumi. Namun Allah lebih bijak dengan menjawab, “Aku lebih tahu”. Ini membuka pikiran kita bahwa sejak awal alam itu sudah diciptakan Allah yang disediakan seutuhnya untuk manusia. Dalam ayat-Nya disebutkan pula bahwa Manusialah yang menjadi khalifah di Bumi. Meski Allah tahu kalau manusia akan merusak bumi sebagaimana kekhawatiran para malaikat. Dan semua itu terbukti hingga saat ini.
Menurut Al-Kindi, jenis alam yang pertama terjadi dari empat unsur yaitu: api, udara dan tanah. Keempat unsur itu berkualitas dingin, panas, kering dan basah yang merupakan perlambang dari perubahan, pertumbhan dan kemusnahan. Sedangkan pada jenis alam kedua tidak dijumpai keempat unsur yang dimaksud, karena itu tidak mengalami perubahan dan kemusnahan, dengan kata lain alam kedua tersebut abadi sifatnya. Ini berkaitan erat dengan berita gaib yang disebutkan dalam Al Qur’an yaitu adanya alam akherat. Dimana kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, sedangkan ke depan akan ada kehidupan kekal yang terdiri dari dua pilihan, yaitu kehidupan kekal yang membahagiakan (surga) atau kehidupan kekal yang menyengsarakan (neraka). Adapun dalam ajaran agama sudah ditetapkan bagaimana kita menuju kehidupan yang abadi dan membahagiakan juga jalan menuju kehidupan yang menyengsarakan. Semua bergantung pada manusia itu sendiri, apakah dia akan memilih surga atau neraka.
Bumi merupakan pusat alam. Sedangkan falak-falak atau benda langit menurut Al-Kindi adalah mahluk hidup, memiliki indra penglihatan dan pendengaran sebagai indra yang diperlukan untuk dapat berpikir dan membedakan. Falak-falak tersebut merupakan sebab terdekat bagi planet bumi. Disebabkan gerak lingkaran yang kontinu ke sisi-sisi tertentu, maka timbulah berbagai kegiatan, kehidupan dan makhluk di permukaan bumi ini, seperti : tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia[3].
Jika bumi sebagai pusat tata surya, teori ini terbantahkan dengan teori Galileo yang menyatakan bahwa Matahari lah sebagai pusat tata surya. Meski demikian, berbagai penelitian yang dilakukan para ilmuan menemukan kejadian luar biasa. Alat-alat canggih produk pengetahuan menemukan gugusan baru diluar tata surya kita yang kemungkinan bepenghuni. Bukan hanya itu, planet-planet mirip bumi pada gugusan itu menjadikan gagasan baru, mungkinkah setelah bumi ini rusak dan padat oleh manusia, kita bisa berpindah kesana? Mungkinkah ada wisata antar planet? Atau disana sudah ada penghuni tetap yang memungkinkan kita bisa bertukar teknologi, bekerja sama dengan mereka. Tidak menutup kemungkinan jika di bumi ini ada Nabi-Nabi sebagai utusan Tuhan, di planet yang baru itu ada Nabi yang diutus untuk kaum disana. Secara tidak langsung, kompetisi untuk mendapatkan kehidupan kekal yang lebih baik itu bukan sekedar dengan manusia-manusia yang ada di Bumi ini saja tetapi di planet mirip bumi di gugusan-gugusan bintang lain. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar