A. PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, berkembang pula pola pikir umat manusia. Pendidikan sebagai sarana pencerahan umat pun memiliki nuansa berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lain, sehingga bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Beberapa teori dari para pemikir memunculkan adanya aliran pendidikan. Aliran-aliran tersebut diantaranya[1] : Aliran Empirisme, Aliran Nativisme, Aliran Naturalisme, Aliran Konvergensi, Aliran Progresivisme, Aliran Esensialisme, Aliran Perenialisme dan Aliran Konstruktivisme.
B. ALIRAN PENDIDIKAN
1. Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme adalah John Locke (1632-1704). Dia adalah seorang filusuf dari inggris. Teorinya dikenal dengan Tabulae Rasae (Meja Lilin), yang menyebutkan bahwa, anak lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih.
Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orang tua ( faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan, baik lingkungan sosial, alam dan budaya.
Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar, memegang peranan sangat penting. Sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Dari pengalaman itulah yang akan membentuk tingkah laku, sikap, dan watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Aliran ini dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut :
v Dalam suatu keluarga yang kaya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidak adda. Akibatnya dalam diri anak tersebut terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
v Ketika anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan pada lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga yang kaya raya dan hidup di kota juga disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkaan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
2. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer (1788-1869), seorang filosof Jerman. Aliran ini berpendapat bahwa, Perkembangan Individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak.
Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Sebagai contoh: jika sepasang orang tua pemusik, maka anak-anak mereka akan menjadi pemusik pula. Harimau pun tidak pernah melahirkan domba. Jadi, pembawaan dan bakat orang tua selalu berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan anak-anaknya.
3. Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. Ia adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, sebagai pendidik J.J. Rousseau mengajukan konsep Pendidikaan Alam yang maksudnya adalah anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Naturalism memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M.Arifin dan Aminuddin R., 1992), yaitu :
a. Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya secara alami.
b. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik hanya sebagai fasilitator atau nara sumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik kearah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada anak didik sendiri.
c. Program pendidikan sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi pada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai minat dan perhatiannya.
4. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah Louis William Stern. Dia seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1938. Aliran Konvergensi merupakan kombinasi anatara aliran Natiisme dan Empirisme.
Aliran ini berpendapat bahwa, anak lahir ke dunia telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi factor pembawaan dan lingkungan sama-sama penting.
Anak mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa oleh anak.
Dengan demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Hanya saja William Stern tidak menerangkan seberapa besar perbandingan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua factor tersebut.
5. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa, manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis[2] dan kreatif[3] yang didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik yang secara teori mengerti karakter anak didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan ruhani, namun juga diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan ruhani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun luar sekolah.
6. Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealism[4] dan realism[5]. Sumbangan yang diberikan keduanya bersifat eklektik, artinya dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisas.
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan dari tokoh Reinsas[6] yang:
a. Pertama adalah Lohan Amous Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu dianjurkan melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa.
b. Kedua adalah Johan Frieddrich Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebijakan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan oleh Hebart disebut sebagai pengajaran.
c. Ketiga addalah William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa, tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan kesatuan spiritual[7]. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun dan menjadi panutan penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans[8].
7. Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Parenialisme adalah Plato, Aris Toteles dan Thomas Aquino. Parenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis[9] zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini.
Pada awalnya, peserta didik diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti : membaca, menulis dan berhitung. Selanjutnya dilatih pula kemampuan lebih tinggi seperti berlogika, retorika[10] dan bahasa.
8. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. Dia dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. Ia mengatakan bahwa, Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Suparno,1997:24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena Dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget melalui teori perkembangan kognitif. Piaget mengemukakan bahwa, pengetahuan merupakan interaksi continu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan proses bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru (Paul Suparno, 1997:33).
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu : Asimilasi[11], Akomodasi[12] dan Ekuilibrasi[13]. ( Suwardi, 2004:24).
Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang melalui pengalaman yang diterima panca indra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang kepada orang lain dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahan. Sehingga jika pembelajaran ditunjuk untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditunjukan untuk menggali pengalaman.
C. KESIMPULAN
Setiap individu baru yang ada di bumi ini akan tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Demikian juga manusia, dari bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan itu diakibatkan oleh banyak hal. jika kita melihat penjelasan dari berbagai aliran diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu factor intern dan factor ekstern manusia.
a) Factor intern yaitu factor yang muncul dari dalam diri manusia itu sendri. Hal ini bisa dilihat dari mereka yang memiliki kemampuan untuk berkembang yang ditentukan oleh keturunan (aliran nativisme), bawaan sejak lahir (aliran nativisme, konvergensi dan naturalism), kemampuan otak (aliran progresivisme), bakat (aliran konstruktivisme), pengetahuan dan cara berpikir (aliran parenialisme)
b) Faktor ekstern yaitu factor yang muncul dari luar diri manusia, meliputi : pengalaman (aliran empirisme), lingkungan (aliran konvergensi), nilai-nilai (aliran esensialisme) dan kehendak Tuhan (aliran konstruktivisme).
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Mukhlison, Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: Nadi Ofset, 2008.
Partanto, A. Pius dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, 1994.
Suwarno, wiji., Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara, 2002.
[1] Effendi, Mukhlison, “ Ilmu Pendidikan”, Jogjakarta, 2008, hlm. 51.
[2] Senantiasa bergerak maju dan terus berubah.
[3] Mempunyai kemampuan untuk mencipta.
[4] Bersifat angan-angan, cita-cita.
[5] Kepatuhan terhadap fakta, kepada apa yang tampak dan terjadi, bukan kepada yang diharapkan dan diinginkan.
[6] Suwarno, wiji., Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta, 2002, hlm. 49.
[7] Mencangkup nilai-nilai kemanusiaan yang non-materi seperti: kebenaran, kebaikan, keindahan, kesucian, cinta; rohani, kejiwaan: intelektual.
[8] Reinsans : kebangkitan kembali, yaitu waktu kebangkitan seni, sastra dan pengetahuan di Eropa mulai abad ke-14-17 dan merupakan peralihan dari abad pertengahan ke abad modern.
[9] Kebenaran yang tidak diragukan.
[10] Retorika : metode/ keadaan berpidato.
[11] Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki.
[12] Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru.
[13] Ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar