“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikanmu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Manusia memiliki
komunitas masing-masing. Komunitas ini yang kemudian disebut sebagai keluarga,
kemudian tergabung dalam keluarga besar atau kumpulan dari orang-orang
(keluarga) yang seketurunan yang kemudian disebut suku. Suku-suku membentuk
golongan bangsa dari suatu bangsa. Ini telah disebutkan beribu tahun yang lalu
pada ayat Al-Qur’an diatas.
Setiap bangsa memiliki
kebudayaan masing-masing. Budaya ini yang pada ahirnya menjadikan ciri khas,
kekayaan juga perbedaan. Perbedaan ini yang kemudian memunculkan istilah
“Pluralisme”. Dimana pluralisme merupakan aturan Tuhan yang tidak mungkin
berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari[1].
Ini juga berlaku dalam memeluk suatu agama. Lantas bagaimana dalam pluralisme
dalam beragama?
Pluralisme agama
menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam Munasnya yang ke 7 pada 25-29 Juli
2005 di Jakarta mendefinisikan bahwa, pluralisme agama adalah sebuah kenyataan
bahwa di negara atau daerah tertentu tertentu terdapat berbagai pemeluk agama
yang hidup secara berdampingan. Pluralisme Agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme
juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di
dalam sorga.
Ma’ruf Amin, ketua
Komisi Fatwa MUI menyatakan Dalam aqidah dan ibadah umat Islam wajib bersikap
ekslusif dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan
aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Namun demikian, bagi masyarakat muslim
yang tinggal bersama dengan pemeluk lain (pluralitas agama) dalam masalah
sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap
inklusif dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial degan pemeluk agama lain
sepanjang tidak saling merugikan. Jadi pluralisme itu harus diterima dengan
positif.
Demikian juga
disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 256 yang mengandung makna
bahwa nilai sejati setiap agama adalah paradigma pembebasan individu dan masyarakat
serta tanggungjawab sosial yang berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dimana
dalam agama islam sendiri secara jelas menyatakan bahwa, tidak ada paksaan
untuk memeluk suatu agama.
Bangsa-bangsa di dunia
dan miniatur bangsa seperti Indonesia yang memiliki banyak suku, pastinya
memiliki beraneka macam agama. Namun keanekaragaman ini tidak bisa dijadikan alasan
untuk saling mencela dan menumpahkan darah. Sebaliknya, kondisi sosial budaya
dengan pola kemajemukan selalu memerlukan adanya titik temu dalam menilai
kesamaan dari semua kelompok yang ada demi mewujudkan cita-cita kesejahteraan
bersama.
Dengan demikian, jika
kita melihat fungsi strategis kerjasama antar agama bisa disebutkan seperti:
1. Dengan
adanya kerjasama antar agama, ini membuktikan ketakwaan kepada Tuhan. Dimana di
hadapan Tuhan, seseorang dinilai baik apabila ia baik kepada semua makhluk.
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia yang lain. Ini juga wujud solidaritas kemanusiaan
dimana semua umat manusia adalah anggota keluarga, berwal dari dua pasang
manusia pertama yang bernamakan Adam dan Hawa.
2. Dalam
hadits Nabi juga disebutkan kalau manusia lahir dalam keadaan suci, jadi tidak
ada perbedaan antara manusia yang satu dan manusia yang lain, meski pada
ahirnya manusia dipengaruhi oleh lingkungan.
3. Dalam
kehidupan masyarakat, manusia laksana organ tubuh yang satu. Semua akan
terundung lara bila salah satu organ nestapa. Atau dalam analogi lain, manusia
bak bangunan yag saling mengokohkan satu sama lain.
Organ pergerakan mahasiswa yang terdiri dari
beraneka organisasi di seluruh wilayah Indonesia, atau Banyumas sebagai
miniatur Indonesia, hendaknya memahami betul akan pluralitas agama. Karena
tidak bisa dipungkiri bahwa kebebasan memeluk agama adalah hak asasi dan
menghormati pemeluk agama lain adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan. Ini juga demi menjaga persatuan organ dan penyatuan
tujuan yang tidak mungkin diperjuangkan sendiri-sendiri.
Kiranya tak perlu panjang lebar saya tulis fakta dan
fenomena yang terjadi saat ini. Organisasi masyarakat pun mulai terlihat adanya
ketidak harmonisan. Katakanlah Nahdiyin dan Muhammadiyah, juga firqoh-firqoh
baru yang di daerah tertentu masih kental dengan perselisihan pendapat. Saya
kira perlu adanya pelurusan dan siapa lagi kalau bukan kaum terpelajar
(mahasiswa) sebagai agent of change.
Okay, siapa pun bisa menjadi sang revolusioner.
Revolusi yang berawal dari pribadi, membawa komunitas kemudian berdampak pada
lingkungan. Apa lagi IMMawan dan IMMawati yang telah mendarah daging tri
kompetensinya. IMMawan dan IMMawati yang intelektualis, agamis dan sosialis,
wajib menjadi pelopornya. Saya kira tantangan diluar tidak begitu mudah, semua
kader IMM kudu menambah keterampilan juga mengembangkan potensi agar
tidak terseok dan survive arungi bahtera bersama masyarakat.
Fastabiqul khairat !!!
**Penulis
adalah kader komisariat Tarbiyah Koorkom Ahmad Dahlan IMM STAIN Purwokerto yang
kini menjabat sebagai editor bulletin KISMIS. Mahasiswi ini Jurusan Tarbiyah,
prodi Bahasa Arab semester 6. Belajar menulis sembari kuliah dan ikuti agenda
IMM menjadi aktifitas pilihan disamping berderma tebarkan senyum dan beramal.
[1] Ahmad Najib Burhani. Islam Dinamis: Menggugat Peran
Agama Membongkar Doktrin Yang Membatu. Jakarta: Buku Kompas. 2001. H. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar