A. PENDAHULUAN
Ibrahim adalah nama kekasih Allah, bapak para Nabi terbesar sesudah Nuh. Dan kitab kejadian dikatakan bahwa, ia adalah anak kesepuluh dari Sam, dilahirkan di negeri Ur, yaitu Nur dari negeri Celedonia yang sekarang dikenal dengan nama Urfa di wilayah Aleppo. Hal ini dibenarkan oleh sebagian ahli sejarah.
Di dalam kitab kejadian dikatakan bahwa, Allah ta’ala menampakan diri Nya kepada Ibrahim ketika beliau berusia 99 tahun. Allah berbicara dengannya dan memperbaharui janji Nya dengannya, bahwa Dia akan memperbanyak keturunannya dan memberinya negeri Kan’an (Palestina) sebagai miliknya, dan menamakannya dengan nama keturunannya.
Ibrahim disebut Abul Jumhur Al’azim. Berarti dia bapak umat. Ini merupakan kabar gembira dari Allah baginya, bahwa dia akan mempunyai banyak keturunan dari kedua anaknya : Ismail as. dan Ishaq as.
Sebagian ahli sejarah menukilkan bahwa Raja Hamurabi yang hidup semasa dengan Ibrahim as. Adalah seorang berkebangsaan Arab.
Ibrahim telah menempatakan putranya, Ismail bersama ibunya, Hajar yang berkebangsaan Mesir di sebuah lembah yang disitulah kemudian berdiri kota Makkah. Allah telah mendudukan bagi mereka berdua sekelompok orang Jurhum yang kemudian tinggal bersama mereka di sana.
Allah menamakan bapak Ibrahim dengan Azar. Di dalam kitab kejdian namanya adalah Terah yang berarti orang yang bermalas-malas. Di dalam kitab Tarikh, Bukhari mengatakan, Ibrahim adalah putra Azar. Di dalam Taurat ia dinamakan Terah, tetapi Allah menamakan Azar. Ad Dahhak dan Ibnu Jarir menetapkan bahwa namanya Azar.
B. TAFSIR SURAT AL AN’AM AYAT 74-79
1. Ayat 74
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
Hai Rosul, ceritkanlah kepada orang-orang musyrik yang telah kami terangkan kepadamu hujah-hujah atas kebatilan kemusyrikan dan kesesatan mereka, ketika mereka menyembah sesuatu yang tidak ada kuasa untuk mendatangkan manfaat maupun kemudharatan kepada mereka—kisah-kisah tentang nenek moyang mereka, Ibrahim yang mereka agungkan, dan mereka mengaku-aku sebagai pengikut agamanya, ketika dia membantah kaumnya dan menjelaskan kebatilan apa yang mereka perbuat. Yaitu ketika dia berkata kepada Azhar, bapaknya—sambil mengingkari kemusrikannya dan kemusrikan kaumnya, serta penyembahannya terhadap berhala dengan meninggalkan penyembahan terhadap penciptanya—“Hai Azhar, apakah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah yang menciptakanmu dan menciptakannya, padahal hanya Dia lah yang berhak disembah ?”
Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu yang sama-sama menyembah berhala ini berada dalam kesesatan yang nyata dari jalan yang lurus, tidak ada keraguan padanya untuk mengikuti petunuk. Berhala-berhala ini adalah patung-patung yang kalian pahat dari batu, kalian buat dari kayu atau dari logam, sedang derajat kalian lebih tinggi dan mulia daripadanya. Menurut zatnya, ia bukan Tuhan. Tidak layak bagi orang yang berakal untuk menyembah apa yang sebanding dengannya dalam penciptaan, tidak pula dalam kekuasaan sang khalik, butuh kepada Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa, tidak kuasa untuk mendatangkan manfaat maupun kemudharatan, tidak dapat member dan menahan pemberian.
Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh bahasa, seperti firman Allah ta’ala kepada Rasulullah saw, “ Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (Ad Dhuha, 93:7).
Dan seperti perkataan anda kepada orang yang anda lihat menyimpang dari jalan yang ditempuhnya, “Sesungguhnya jalan itu dari sini, tetapi anda menyimpang darinya.”
2. Ayat 75
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”
Kami telah memperlihatkan kebenaran kepada Ibrahim tentang perkara bapak dan kaumnya, bahwa mereka benar-benar berada di dalam kesesatan yang nyata, lantaran beribadah kepada berhala dan patung. Demikian pula setahap demi setahap, Kami memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi. Yakni Kami ciptakan keduanya dengan segala isinya, berupa aturan-aturan yang indah dan buatan yang mengagumkan. Kami perlihatkan kepadanya bintang-bintang yang beredar pada orbitnya di atas jalur yang tetap. Kami perlihatkan padanya bumi dan yang ada di dalam berbagai lapisannya, berupa barang-barang tambang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia apabila dia menggunakannya secara benar menurut apa yang telah kami tunjukan kepadanya. Kami juga tampakan kepadanya perkara bumi itu, baik yang bersifat batin maupun lahir. Semua ini dilihat dari segi bukti yang menunjuk kepada keesaan, keagungan kekuasaan dan peliputan ilmu kami atas segala sesuatu.
Semua itu Kami perlihatkan adanya, agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Kami di dalam mengatur jerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukan Rububbiyah Kami. Supaya dengan itu, dia dapat menegakan hujjah terhadap orang-orang musyrik yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin sampai ketingkat ‘ainul-yaqin.
Kemudian Allah Ta’ala merinci kerajaan langit dan bumi yang diperlihatkan kepadanya secara global. Dia berfirman :
3. Ayat 76
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
Ketika Allah Ta’ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya, seakan ceritanya yang pertama adalah sebagai berikut : ketika malam telah gelap dan menutupi alam bumi sekitarnya, dia memandang kerajaan langit. Dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari bintang-bintang lainnya, karena sinarnya yang berkilauan, yaitu Jupiter yang yang merupakan Tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani dan Romawi kuno. Kaum Ibrahim adalah imam mereka di dalan penyembahan ini, sedang mereka hanya pengikutnya. Ketika melihat itu, Ibrahim berkata, “ Inilah Tuhanku”. Perkataan ini dikemukakannya dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya, sebagai permulaan pengingkaran terhadap mereka. Pertama-tama dia mengemukakan perkataan mereka sendiri guna menarik perhatian mereka supaya mau mendengarkan hujjah atas kebatilan sembahan terhadap bintang itu. Pertama-tama dia mengaburkan pandangan mereka. Kemudian dia menyampaikan kritiknya, yang dalilnya didasarkan atas indra dan akal.
Tatkala bintang itu tatkala bintang itu tenggelam dan menghilang, dia berkata, “Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang terbenam dan menghilang”. Perkataan ini disampaikan karena orang yang sehat fitrahnya tidak akan menyukai sesuatu yang hilang daripadanya, dan tidak pula merasa kesepian karena kehilangannya. Bagaimana pendapat anda sekarang tentang kecintaan yang paling tinggi dan sempurna? Fitrah dan akal yang yang sehat telah memberikan bimbingan kepada kecintaannya itu. Oleh sebab itu, krcintaan di dalam beribadah ini hanya patut diberikan kepada Tuhan Yang Maha Ada dan Dekat, Maha Mendengar, Maha Melihat lagi Mengawasi, yang tidak pernah hilang, lengah atau lupa, dan yang Zahir dalam segala sesuatu dengan ayat-ayatnya:
“Dengan segala sesuatu Dia mempunyai tanda menunjukan bahwa Dia Maha Esa”
Juga yang batin dalam segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kehalusannya, “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dia-lah Yang Maha halus lagi Maha Mengetahui”. (Al An’am, 6:103).
Di dalam hadits, ketika kejelasan makna ikhsan diungkapkan, “ Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalaupun kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya dia melihatmu.”
Ringkasnya, ayat ini mengisyaratkan kebodohan kaumnya didalam menyembah sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka dan tidak tahu sedikit pun tentang urusan ibadah mereka kepadanya. Makna ini lebih dekat dengan perkataannya kepada bapaknya, “ Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Maryam, 19:42)
Ibrahim mengemukakan hujjah dengan tenggelamnya bintang tanpa mengemukakan terbitnya, yang kedua adalah perpindahan dari satu keadaan pada keadaan lain, karena tenggelammnya adalah perpindahan yang disertai dengan bersembunyi dan menutup diri. Ini termasuk hal yang bertentangan dengan sifat rububiyyah.
Hujjah Ibrahim dalam meninggalkan ibadah terhadap Matahari, bulan dan bintang. Ketika melihat permulaan terbitnya bulan dari balik ufuk, dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Perkataan itu disampaikannya dengan nada menceritakan apa yang biasa mereka katakana, sebagai pendahuluan untuk membatalkan perkataan mereka itu.
Dari siyaqul-kalam, segera dapat diketahui, bahwa Ibrahim melihat bintang pada suatu malam dan melihat bulan pada malam berikutnya.
4. Ayat 77
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat."
Ketika bulan itu tenggelam sebagaimana halnya bintang, padahal ia nampak lebih besar, cahayanya lebih terang dan sinarnya lebih tajam. Dia berkata sambil mendengarkannya kepada orang-orang disekitarnya, “Sekirnya Tuhanku tidak memberiku petunjuk dan taufik untuk mencapai kebenaran dalam tauhidNya, tentulah aku sudah termasuk kaum zalim yang tidak mencapai kebenaran dalam hal itu”. Sehingga mereka tidak mendapat petunjuk, menyembah selain Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengamalkan apa yang diridhai Allah Ta’ala.
Disini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungannya hidayah Ad Din pada wahyu Illahi. Disini, sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara telah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan mereka termodali. Ibrahim baru menyindir kesesatan setelah dia yakin, bahwa mereka mau mendengarkan maksud terakhir dari pembicaraannya. Dalam langkah ketiga, dia beralih dari sindiran kepada terus-terang, menyatakan kebesarannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada dalam kemusrikan yang nyata. Hal ini setelah kebenaran benar-benar nampak.
5. Ayat 78
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Sambil menunjuk matahari, dia berkata, “Yang aku lihat sekarang, inilah Tuhanku”. “Ia lebih besar dari bintang dan bulan.” Tampak disini, bahwa Ibrahim memperpanjang argumentasinya untuk menyudutkan mereka. Dalam pembicaraannya ini pula terdapat pendahuluan untuk menegakan hujjah atas mereka, dan tahapan untuk memancing perhatian mereka agar mau mendengarkan pembicaraan sesudah sindiran yang dikhawatirkan akan mereka sangkal.
Ringkasnya, matahari yang terbit ini lebih besar dari bintang dan bulan, lebih terang dan bercahaya. Oleh sebab itu ia lebih patut dikatakan sebagai Tuhan. Setelah matahari terbenam, sebagaimana yang lainnya menghilang, lalu tertutuplah cahayanya, dan kesunyian melebihi kesunyian karena gelapnya bintang dan bulan, maka dia membeberkan sejelas-jelasnya, apa yang dia kehhendaki setelah sindiran itu, sambil melepaskan diri kemusrikan kaum karena keburukannya.
Ringkasnya, dia memutar balik dan mengulur-ulur pembicaraan dengan penuh kelembutan hingga sampai kepada apa yang dia kehendaki dengan cara yang terbaik dan halus, sambil membebaskan diri dari sesembahan-sesembahan yang mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah itu.
Setelah membebaskan diri dari kemusrikan mereka itu, dia menutup dengan menjelaskan akidahnya akidah yang murni, dia berkata,
6. Ayat 79
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku di dalam beribadah hanya kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, serta menyempurnakan penciptaannya di dalam enam hari. Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang yang terang benderang. Dial ah yang menciptakan kalian, barang-barang tambang dan tumbuh-tumbuhan yang kalian jadikan berhala.
Ringkasnya, Ibrahim berlepas diri dari kemusrikan mereka atau sekutu-sekutu mereka, kemudian dari diri mereka sendiri. Senada dengan ayat ini ialah firman Allah dalam Q.S. Al Mumtahah ayat 4 yang berbunyi, “Sesungguhnya telah ada tauladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian’.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Zaid, bahwa ketika Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi”, kaum Ibrahim berkata, “Engkau tidak membawa apa-apa, kami menyembahNya dan menghadapkan diri kepadaNya”. Ibrahim membantah, bahwa dia lurus dalam hal itu yakin memurnikan ketaatan kepadaNya, tidak menyekutukan sesuatu denganNya sebagaimana mereka lakukan.
Yang dia maksudkan adalah, bahwa dia menyimpang dari sembahan-sembahan mereka yang batil dan dari sesembahan lainnya. Penyerahan dirinya adalah murni, tidak ternodai oleh kemusrikan atau riya. Dia tidak termasuk orang yang menyekutukanNya, yang menghadapkan diri kepada selain Allah seperti bintang, malaikat, raja, orang-orang saleh, atau benda-bendayang mereka jadikan Tuhan seperti berhala dan patung.
Secara lahir, apa yang diceritakan Allah tentang Ibrahim as, adalah bahwa kaumnya menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan, bukan sebagai pencipta yang menjadikan bintang-bintang sekaligus sebagai pencipta tuhan-tuhan. Allah ialah sembahan. Setiap yang menyembah sesuatu maka dia telah menjadikannya Tuhan Ar –Rabb ialah yang menguasai, memelihara, mengatur dan bebas berbuat. Makhluk tidak mempunyai Tuhan selain Allah yang menciptakan mereka. Dia lah yang menguasai segala sesuatu disetiap zaman dan keadaan, sedangkan kerajaan selain Allah bersifat kurang dan sementara. Dial ah yang berhak disembah. Ibadah ialah menghadapkan diri dengan berdoa dan mengagungkan, baik bersifat perkataan maupun perbuatan kepada Tuhan yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang menciptakan, mengadakan dan bebas untuk bertindak terhadap makhluk.
C. ANALISIS
Ada dua asal penciptaan ibadah kepada selain Allah, seperti kepada batu, matahari, bulan dan sebagainya.
Pertama, sebagai orang yang lemah akalnya melihat beberapa manifestasi kekuasaan Allah Ta’ala pada sebagian makhlukNya. Mereka mengira bahwa yang demikian itu bersifat dzati (yang sebenarnya) bagi makhluk ini, bukan sebagai akibat dari sunah-sunah Allah yang dapat dijadikan sebagai sebab-musabab.
Kedua, dijadikannya sebagian makhluk yang mempunyai kekhususan untuk memberikan manfaat atau mudharat, sebagai perantara kapada Tuhan yang Hak guna memberikan syafa’at di sisiNya dan mendekatkan kepada Allah bagi setiap orang yang menghadapkan diri. Maka orang yang mempunyai kebutuhan, memohon dan mengagungkan (makhluk) dengan perkataan maupun perbuatan, dengan anggapan bahwa dengan sebab pengaruh makhluk itulah Allah Ta’ala akan menerima permohonannya.
Diantara makhluk yang mereka buat sebagai pernatara ini ialah patung, berhala, kuburan dan lain sebagainya. Inila syirik yang dilakukan orang-orang Arab pada masa diutusnya Nabi SAW. Oleh sebab itu, ketika tawaf di Baitul Haram, mereka berkata, “Kusambut panggilan Mu, tidak ada sekutu bagi Mu, kecuali sekutu yang ia adalah milik Mu, Engkau dan segala apa yang ia miliki.”
Ibrahim telah membawa hujjah yang sempurna. Dia mencurahkan ibadahnya hanya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi, tanpa melalui perantara. Mengenai patung-patung yang mereka buat, Ibrahim berkata, “Sebenarnya Tuhan kalian Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. (Al An Biya, 21 ayat 56)
D. SUMBER
Ahmad Mustafa Al Maragi. Tafsir Al Maragi. Toha Putra : Semarang. Cet. 2. 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar